Sabtu, 26 Maret 2016 0 komentar

Rasa yang tak bersuara

sumber: di sini
Sebelum aku menulis lebih jauh, aku mau berterima kasih, kepada dia, yang mengajarkan bahwa aku bisa bahagia tanpanya.

Baiklah, mari lupakan si pembual itu.

Sekarang, aku mau cerita tentang satu hal yang cukup membuat malamku terasa hangat. Bukan atas kehadiran fisik, tapi senyum yang terekam di kameraku lah penyebabnya.

Tulisan ini bukan tentang aku yang tengah jatuh cinta. Tapi tentang deretan ungkapan dari rasa yang tak bisa bersuara.

Jadi, beberapa waktu yang lalu aku pergi, berdua, dengan seseorang. Tidak untuk bicara perasaan, hanya saling mengutarakan kenyamanan.

Di antara tuas transmisi kita duduk menatap jalan. Dia bercerita, aku mendengarkan, dan sebaliknya.

Menyebalkan saat dia menatap menembus kacamataku, seolah menyudutkan bahwa aku tak punya keberanian yang sama untuk menatapnya. Suara hujan di luar kaca mobil seolah semakin menghakimi, bahwa aku lemah, terhadapnya.

Sejenak dia bercerita tentang teman-temannya, sejenak tentang pekerjaannya, sejenak tentang hobinya, dan sejenak yang lain dia membiarkanku bercerita sepuasnya. Tanpa interupsi apalagi bantahan.

Saat aku berhasil membuatnya tertawa, saat itu pula aku berdoa 'Tuhan, aku mau mengukir tawa itu, agar abadi di hati ini'.

Kita pulang saat matahari telah di peraduan. Aku pulang ke rumah, tapi.. sesungguhnya dia telah jadi rumahku dalam bentuk lain seharian itu. Nyaman.

Hari hari setelahnya kita menghangat, oleh dialog singkat atau sebaris kata penyemangat.

Tuhan, aku tak mau terus memikirkan dia, sebenarnya. Aku mau menyingkirkannya sekarang juga. Kalau bisa. Sebelum terlalu jauh.

Karena, bukankah, menyimpan rasa untuk hubungan yang entah akan di bawa ke mana adalah sia-sia.
 
;