Kamis, 07 April 2016 0 komentar

Pesan singkat yang hilangkan penat

sumber: di sini
Membayangkan wajahnya saja, pikiranku ngilu. Apalagi membayangkan setiap kenangan yang pernah terjadi antara aku dan dia. Hampir gila dibuatnya.

Seperti kutulis sebelumnya, menyimpan rasa untuk hubungan yang entah akan di bawa ke mana adalah sia-sia. Tapi, hingga saat ini, dia membuatku menikmati kesia-siaan itu.

Hari ini, sapaannya datang lagi. Sebaris kalimat singkat yang secara ajaib mampu enyahkan penat.

Tak ada yang spesial, sama sekali. Hanya teguran basa-basi yang jumlah katanya mungkin tak cukup untuk disebut kalimat.

Pesan singkatnya tak hanya enyahkan penat, lebih dari itu, menjawab rindu yang kurasa (hampir) setiap waktu. Seperti kalian tau, menahan rindu itu menyesakkan. Selalu.

Setiap terakhir kali aku selesai saling berbalas pesan dengannya, saat itu juga kerinduan ini dimulai. Kata orang satu-satunya obat rindu adalah bertemu. Memang.

Menghabiskan waktu tenggelam berdua di kolom pesan adalah obat yang lain seandainya pertemuan itu entah kapan terjadinya.

Kamu,
bersama hampanya udara dan putaran waktu yang tanpa sela, aku selalu menunggu. Menunggumu menyapaku terlebih dahulu.
Sabtu, 26 Maret 2016 0 komentar

Rasa yang tak bersuara

sumber: di sini
Sebelum aku menulis lebih jauh, aku mau berterima kasih, kepada dia, yang mengajarkan bahwa aku bisa bahagia tanpanya.

Baiklah, mari lupakan si pembual itu.

Sekarang, aku mau cerita tentang satu hal yang cukup membuat malamku terasa hangat. Bukan atas kehadiran fisik, tapi senyum yang terekam di kameraku lah penyebabnya.

Tulisan ini bukan tentang aku yang tengah jatuh cinta. Tapi tentang deretan ungkapan dari rasa yang tak bisa bersuara.

Jadi, beberapa waktu yang lalu aku pergi, berdua, dengan seseorang. Tidak untuk bicara perasaan, hanya saling mengutarakan kenyamanan.

Di antara tuas transmisi kita duduk menatap jalan. Dia bercerita, aku mendengarkan, dan sebaliknya.

Menyebalkan saat dia menatap menembus kacamataku, seolah menyudutkan bahwa aku tak punya keberanian yang sama untuk menatapnya. Suara hujan di luar kaca mobil seolah semakin menghakimi, bahwa aku lemah, terhadapnya.

Sejenak dia bercerita tentang teman-temannya, sejenak tentang pekerjaannya, sejenak tentang hobinya, dan sejenak yang lain dia membiarkanku bercerita sepuasnya. Tanpa interupsi apalagi bantahan.

Saat aku berhasil membuatnya tertawa, saat itu pula aku berdoa 'Tuhan, aku mau mengukir tawa itu, agar abadi di hati ini'.

Kita pulang saat matahari telah di peraduan. Aku pulang ke rumah, tapi.. sesungguhnya dia telah jadi rumahku dalam bentuk lain seharian itu. Nyaman.

Hari hari setelahnya kita menghangat, oleh dialog singkat atau sebaris kata penyemangat.

Tuhan, aku tak mau terus memikirkan dia, sebenarnya. Aku mau menyingkirkannya sekarang juga. Kalau bisa. Sebelum terlalu jauh.

Karena, bukankah, menyimpan rasa untuk hubungan yang entah akan di bawa ke mana adalah sia-sia.
Senin, 08 Februari 2016 0 komentar

Lombok, dan Perasaan yang Tertinggal di Sana

Lombok, Januari 2016
Aku memperhatikannya melirik kanan kiri dan kadang membalikkan badannya ke arah lain untuk menyapu pandang seluas mungkin. Hal itu dia lakukan dengan intensitas yang terlalu sering. Khas orang yang tengah mencari sesuatu atau seseorang.

Selebihnya menunduk, memandangi smartphone yang belakangan kutahu dia kerap mengeluhkan resolusi layarnya.

Begini, awal mula aku memperhatikannya karena dia punya perawakan (terlalu) kurus, dan sukses mengingatkanku akan seseorang. Seseorang yang belakangan.... ah sudahlah.

Beberapa waktu kemudian sepertinya orang yang dia tunggu telah tiba. Bersama tas ransel merahnya dia melangkah menuju counter check-in. Diikuti dua orang lain yang baru datang.

Dia, dua orang rekannya, aku, dan beberapa yang lain akan mengadakan perjalanan ke Surabaya melalui Soekarno-Hatta. Kita memang satu rombongan. Tapi, ini adalah kali pertama aku mengenalnya.

Lalu, atas alasan yang ku kemukakan di atas, aku kemudian selalu memperhatikannya. Penilaian awalku adalah ekspresi dia terlalu dingin untuk ukuran orang yang pekerjaannya kerap berhubungan dengan orang lain. Tapi, aku pun berpikir positif, 'ah dia mungkin bukan orang yang mudah akrab terhadap orang asing'.

Perjalanan dari Jakarta ke Surabaya, dilanjut dari Surabaya ke Lombok, tak banyak hal yang kuketahui tentang dia. Aku hanya memperhatikan, memperhatikan dia yang tenggelam dengan setumpuk hal yang harus dikerjakan.

Ingin membantunya, tapi untuk apa. Hanya untuk mengurangi waktu dia saat waktu itu dia pakai untuk menolak tawaranku? Lupakan. Mari kembali memperhatikan.

Kemudian di pinggir Pantai Senggigi, ada saat di mana dia bercerita kepada rekannya, tentang rencana pernikahan yang kandas karena sang pacar menuduhnya kurang perhatian. Rekannya menimpali, jika seseorang sudah tak cinta atau sayang memang akan selalu mencari-cari alasan seolah pasangannya lah yang salah.

Mereka berdua berargumen, dari argumen 'bikin dia nyesel udah mutusin kamu' sampai 'sudahlah, itu namanya takdir'.

Bodohnya, aku mendengar semuanya, karena (kebetulan) aku duduk tak jauh dari mereka. Cukup tertegun. Itu kah alasan kurang hangatnya sikap dia selama beberapa hari ini. Entahlah.

Setelah itu, dia diam, memandang laut. Kuperhatikan, tenang sekaligus dingin sekali wajah itu. 

Saat semua orang menunggu sunset, aku justru menunggu yang lain, menunggu ada senyum yang hadir di bibirnya. Karena menurutku, pemandangan itu jauh lebih indah. Senyumlah, kumohon.

Hari berganti, tempat yang kita kunjungi berubah ubah, namun perasaan ini tetap sama sejak awal. Perasaan yang aku sendiri tak tahu apa. Dibilang jatuh cinta, tidak sejauh itu. Dibilang biasa saja, kenyataannya tidak, dia berhasil menarik perhatian.

Mungkin perasaan nyaman. Mungkin.

Hari terakhir di Lombok, aku sempat terlibat obrolan dengan dia, tak terlalu penting sebetulnya. Tapi melihatnya tersenyum seolah membayar semuanya. Bahkan sempat aku dengar dia tertawa saat bergurau dengan yang lain. Damai sekali.

Saat pesawat take off dari Lombok untuk terbang kembali ke Jakarta, aku senang dan sedih di waktu bersamaan. Senang karena telah diberi kesempatan berkenalan dengan makhluk aneh seperti dia, tapi sedih untuk hal sebaliknya.

Baiklah, di ibu kota, saatnya kembali menjalani rutinitas seperti biasa. Tanpa dia di sela-selanya tentu saja. Perasaan nyaman ini pun telah aku tinggal di Lombok sana, bersama beningnya air laut dan putihnya pasir pantai. 

"Kamu, kabari kalau sudah punya hp baru ya!" ^o^
 
;