Senin, 08 Februari 2016

Lombok, dan Perasaan yang Tertinggal di Sana

Lombok, Januari 2016
Aku memperhatikannya melirik kanan kiri dan kadang membalikkan badannya ke arah lain untuk menyapu pandang seluas mungkin. Hal itu dia lakukan dengan intensitas yang terlalu sering. Khas orang yang tengah mencari sesuatu atau seseorang.

Selebihnya menunduk, memandangi smartphone yang belakangan kutahu dia kerap mengeluhkan resolusi layarnya.

Begini, awal mula aku memperhatikannya karena dia punya perawakan (terlalu) kurus, dan sukses mengingatkanku akan seseorang. Seseorang yang belakangan.... ah sudahlah.

Beberapa waktu kemudian sepertinya orang yang dia tunggu telah tiba. Bersama tas ransel merahnya dia melangkah menuju counter check-in. Diikuti dua orang lain yang baru datang.

Dia, dua orang rekannya, aku, dan beberapa yang lain akan mengadakan perjalanan ke Surabaya melalui Soekarno-Hatta. Kita memang satu rombongan. Tapi, ini adalah kali pertama aku mengenalnya.

Lalu, atas alasan yang ku kemukakan di atas, aku kemudian selalu memperhatikannya. Penilaian awalku adalah ekspresi dia terlalu dingin untuk ukuran orang yang pekerjaannya kerap berhubungan dengan orang lain. Tapi, aku pun berpikir positif, 'ah dia mungkin bukan orang yang mudah akrab terhadap orang asing'.

Perjalanan dari Jakarta ke Surabaya, dilanjut dari Surabaya ke Lombok, tak banyak hal yang kuketahui tentang dia. Aku hanya memperhatikan, memperhatikan dia yang tenggelam dengan setumpuk hal yang harus dikerjakan.

Ingin membantunya, tapi untuk apa. Hanya untuk mengurangi waktu dia saat waktu itu dia pakai untuk menolak tawaranku? Lupakan. Mari kembali memperhatikan.

Kemudian di pinggir Pantai Senggigi, ada saat di mana dia bercerita kepada rekannya, tentang rencana pernikahan yang kandas karena sang pacar menuduhnya kurang perhatian. Rekannya menimpali, jika seseorang sudah tak cinta atau sayang memang akan selalu mencari-cari alasan seolah pasangannya lah yang salah.

Mereka berdua berargumen, dari argumen 'bikin dia nyesel udah mutusin kamu' sampai 'sudahlah, itu namanya takdir'.

Bodohnya, aku mendengar semuanya, karena (kebetulan) aku duduk tak jauh dari mereka. Cukup tertegun. Itu kah alasan kurang hangatnya sikap dia selama beberapa hari ini. Entahlah.

Setelah itu, dia diam, memandang laut. Kuperhatikan, tenang sekaligus dingin sekali wajah itu. 

Saat semua orang menunggu sunset, aku justru menunggu yang lain, menunggu ada senyum yang hadir di bibirnya. Karena menurutku, pemandangan itu jauh lebih indah. Senyumlah, kumohon.

Hari berganti, tempat yang kita kunjungi berubah ubah, namun perasaan ini tetap sama sejak awal. Perasaan yang aku sendiri tak tahu apa. Dibilang jatuh cinta, tidak sejauh itu. Dibilang biasa saja, kenyataannya tidak, dia berhasil menarik perhatian.

Mungkin perasaan nyaman. Mungkin.

Hari terakhir di Lombok, aku sempat terlibat obrolan dengan dia, tak terlalu penting sebetulnya. Tapi melihatnya tersenyum seolah membayar semuanya. Bahkan sempat aku dengar dia tertawa saat bergurau dengan yang lain. Damai sekali.

Saat pesawat take off dari Lombok untuk terbang kembali ke Jakarta, aku senang dan sedih di waktu bersamaan. Senang karena telah diberi kesempatan berkenalan dengan makhluk aneh seperti dia, tapi sedih untuk hal sebaliknya.

Baiklah, di ibu kota, saatnya kembali menjalani rutinitas seperti biasa. Tanpa dia di sela-selanya tentu saja. Perasaan nyaman ini pun telah aku tinggal di Lombok sana, bersama beningnya air laut dan putihnya pasir pantai. 

"Kamu, kabari kalau sudah punya hp baru ya!" ^o^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
;